Penguasaan emosi masing-masing anak tentu berbeda. Ada anak yang sejak kecil sangat santai, tidak mudah terpengaruh keadaan emosinya, dan kalem-kalem saja. Tapi, ada type anak yang begitu mudah marah, mengamuk, bahkan sampai menyakiti dirinya sendiri. Letupan kemarahan inilah yang sering kita sebuat sebagai temper tantrum.
Temper tantrum, biasanya terjadi pada 4 tahun pertama usia anak. Ekspresinya bisa berupa gabungan tingkah laku menangis, memukul, membuat tubuh kaku, melempar barang, menjerit, berguling-guling, atau tidak mau beranjak dari tempat tertentu.
Parahnya, anak-anak dengan temper tantrum ini biasanya menggunakan “senajata” mengamuk mereka untuk memaksa orangtua mereka agar menuruti semua keinginannya.
Mengapa bisa begitu?
Temper tantrum ini terbentuk secara kondisional. Biasanya terjadi karena anak merasa orangtuanya terlalu memaksanya secara berlebihan (bagi orangtua yang terlalu keras), atau perlakuan tidak konsisten dari orangtua, anak-anak yang sakit, cacat fisik, atau anak yang mengalami keterbelakangan mental.
Orangtua yang terlalu cerewet, senang mengkritik, dan keras terhadap anak-anaknya, dapat memancing kekesalan dan kemarahan anak-anaknya. Mereka mungkin awalnya akan menuruti, namun jika paksaan terus menerus dilakukan, mereka jenuh, dan akhirnya meletuplah kemarahan itu.
Orangtua yang tidak konsisten dalam mendidik anak-anak, terutama dalam masalah kedisiplinan dan prinsip. Misalnya, orangtua menuntut anak untuk shalat tepat waktu dan pergi ke masjid. Tapi, ternyata ayahnya sering terlambat bahkan malas-malasan ke masjid. Anak-anak tentu akan melakukan protes keras, manakala mereka melihat fenomena ini. Mereka dipaksa, namun orangtua tidak memperlihatkan keteladanannya.
Anak-anak yang sakit, biasanya lebih cenderung manja. Dan orangtua berusaha memenuhi keinginannya, jika memang itu dapat membuatnya segera sembuh. Sayangnya, ada beberapa type anak yang menggunakan alasan sakit ini untuk memperturutkan keinginannya.
Anak-anak dengan keterbelakangan mental atau cacat fisik, mereka pasti akan merasakan frustrasi yang lebih manakala mereka tidak mampu melakukan segalanya sendiri, atau mengungkapkan keinginannya agar mudah dimengerti orang lain.
Bagaimana menanganinya?
Hindari pembatasan yang berlebih. Jadilah orangtua yang bijak dan tidak bersikap otoriter. Bersikaplah yang fleksibel dengan melihat kondisi anak.
Bersikap konsisten, dengan tetap mencintai anak dengan sepenuh hati tanpa kekakuan dan sikap sewenang-wenang.
Bersikap tenang. Jika anak mulai mengamuk untuk mendapatkan keinginannya, maka Anda harus bersikap cool, tenang, dan tidak terpancing untuk marah. Jika Anda merasa terpancing untuk marah, segera menghindar, masuklah kamar. Tenangkan diri Anda dengan berdzikir, membaca buku, atau tidur sejenak. Jika sudah reda kemarahan Anda, peluklah si kecil.
Jangan berargumentasi saat anak mengamuk. Itu justru akan menambah amukannya. Anda bisa masuk kamar, dan mengatakan padanya untuk bicara baik-baik jika ia sudah tidak mengamuk lagi.
Sumber Gambar : http://s3-ak.buzzfeed.com/static/2013-12/enhanced/webdr03/5/15/original-19374-1386276221-25.jpg
thanks pondokibu.. artikelnya sangat membantu tugas kuliah ku..