Sengketa Dua Saudara

sengketa dua bersaudara

Bunda Rifki tampak kewalahan menghadapi Rifki, sulungnya yang berumur 7 tahun dan duduk di kelas 2 SD. Pasalnya, akhir-akhir ini Rifki yang dulunya sangat kalem dan berkelakuan baik, tiba-tiba menjadi sangat sering berulah dan sering kali menjadikan Fahri , adiknya yang berumur 4 tahun sebagai sasaran. Ada apa sebenarnya?

Kesalahan yang sering kali terjadi dalam pola pendidikan kita adalah sebagai orangtua kita sering kali menyuruh anak yang lebih tua (kakak) untuk mengalah dan menyalahkan mereka setiap kali ada pertengkaran dengan sang adik. Meski kita tahu, tidak setiap pertengkaran dimulai oleh sang kakak.

Misalnya, seperti kasus Rifki. Mengapa Rifki yang tadinya penurut menjadi berubah sering mengintimidasi adiknya? Satu point penting: ada kebijakan yang berat sebelah, sehingga Rifki akhirnya berulah atas dasar dendam dan rasa tidak puas akibat kebijakan tersebut. Bunda Rifki bisa saja sering meminta Rifki sebagai kakak untuk mengalah, atau bahkan menyalahkannya setiap kali adiknya menangis. Biasanya, orangtua selalu beralasan : adik masih kecil dan belum mengerti.

Dalam kacamata orang dewasa, si adik memang masih kecil dan belum mengerti. Tapi, di mata si kakak? Tentu berbeda. Baginya, merebut mainan yang bukan miliknya itu tidak boleh, dan ia berusaha mempertahankan apa yang menjadi miliknya.

Jika kita seringkali meminta kakak untuk mengalah demi adiknya, sesungguhnya itu bukanlah tindakan yang bijak. Kakak pun memiliki hak untuk dihargai dan mendapatkan pembelaan kita sebagai orangtua. Orang tua yang bijak, akan memandang pertengkaran tersebut dari kacamata kedua belah pihak.

Kakak tidak harus selalu mengalah.  Kalau kita mau bersikap bijak, pola pikir si kakak juga sebenarnya masih kecil, maka tak adil jika kita menyuruhnya untuk terus mengalah, bukan? Jika kita ingin kakak mengalah, maka jangan memaksanya. Berikan pengertian, award, juga pemahaman agar ia mengalah atas keinginannya sendiri. Jika ia terpaksa mengalah, maka keterpaksaan ini akan membuatnya marah dan kemarahan yang terus-menerus ini  ia simpan sehingga menjadi dendam. Lain halnya jika ia memang mengalah karena keinginannya.

Jangan hanya menyalahkan salah satu pihak. Anda tahu kakak salah karena memukul adiknya, namun Anda juga tahu adik merebut mainan kakak sehingga dia dipukul. Lebih baik salahkan keduanya daripada hanya menyalahkan salah satu pihak saja. Jika kakak yang lagi-lagi disalahkan tanpa dihargai alasan-alasannya, maka tentu saja ini sama saja membuatnya merasa tak berarti dan Anda meremehkan perasaan-perasaannya.

Anda bisa saja mengatakan pada si kakak, “Kakak, anak sholeh bunda, kenapa memukul? Kan bisa bilang bunda? Kakak tahu, merebut mainan orang lain itu salah, tapi, memukul juga salah lho…”. Dan mengatakan pada si adik, “Masya Allah, adik, anak sholeh bunda, kenapa merebut mainan kakak? Kan bisa bilang ‘pinjam’ sama kakak? Kakak kan baik, pasti mau meminjamkan jika adik meminjamnya dengan baik”.

Ajari anak-anak untuk terbiasa saling memaafkan. Jika emosi anak-anak sudah mereda, ajarilah anak-anak untuk berlomba saling memaafkan dan tidak mengungkit-ungkit kembali pertengkaran yang telah berlalu. Tumbuhkan motivasi mereka untuk tidak menyimpan dendam dan berlarut-larut dalam  masalah yang itu-itu saja.

Nah, bagaimana? Siap untuk mendamaikan persengketaan 2 saudara?

Sumber Gambar : http://www.lehtitarjoukset.com/tiedostot/images/egmont-lasten-ja-nuortenlehdet-lehtitarjoukset(1).jpg

One comment

Comments are closed.