Setiap orang tua yang menginginkan anaknya berhasil. Bahkan kadang orang tua harus memaksakan kehendaknya terhadap anak yang padahal, seharusnya kita memberikan ruang kepada anak untuk mengekspresikan dirinya.
Kadang antara reward dan punishment bagi anak tidak seimbang. Seseorang akan bangga jika anaknya juara Olimpiade Fisika tingkat Nasional. Suatu ketika di arisan,”Alhamdulillah anak saya kemarin habis juara.” Kok jarang ya kita mendengar ada ibu yang berkata,”Alhamdulillah, anak saya juara 1 MTQ Nasional.”.
Ketika anak mendapat nilai jelek, sapu lidi (1), atau kursi (4), jangan sampai kita katakan,”Dasar Bodoh!!” padahal itu anaknya sendiri. Katakanlah,”Ndak apa-apa, besok insya Allah nilai ada garisnya di atas, jadi 9, bukan 4 lagi.”
Saat anak terjatuh, jangan sampai mengatakan,”Gapapa, salah lantainya licin.”. Mengapa yang disalahkan orang lain? Kelak saat ia dewasa bisa jadi ia akan menjadi orang yang suka menyalahkan orang lain. Maka itu, katakanlah,” Lain kali kalau main hati-hati ya kak, soalnya licin, kan habis ada abu vulkanik gunung Kelud, apalagi habis hujan.”. Anak akan berpikir, sebenarnya dia boleh bermain, tetapi harus hati-hati. Dengan begitu ia tidak terbatasi imajinasi dan kreasinya.
Misalkan lagi, di sekolah misalnya, “Siapa yang tadi belum cuci tangan? Baik, yang belum, hukumannya adalah mencuci tangan kembali.” Berilah punishment yang mendidik. Jangan malah disuruh push up misalnya, malah nanti terkenal delik kekerasan pada anak dan harus berurusan dengan KOMNAS Perlindungan Anak.
Mungkin sebagian orang tua akan berpikir, “Kan anak saya sendiri, terserah mau saya apakan”. Jangan sampai kita memiliki pemikiran ortodoks seperti itu lagi. Anak memiliki dunia tersendiri, yaitu dunia imajinasi sehingga kita harus bisa masuk ke dalam dunia mereka untuk memahami apa yang sebenarnya diinginkan anak.
Dalam dunia pendidikan juga bisa diberikan reward atau hadiah yang tidak selalu berhubungan dengam materi. Bahkan dengan tepuk tangan juga bisa dikategorikan reward atau hadiah. Misal, seorang santri TPA bisa mengahafalkan rukun Islam,”Ayo tepuk tangan untuk Anisa yang sudah hafal rukun Islam.” Anak akan gembira dan merasa memiliki prestasi yang luar biasa.
Di sekolah, sang guru bertanya,”Siapa yang belum hafal Pancasila?” Ada seorang siswa menjawab,”Saya Bu!.”. “Lhoh, Jojon kenapa belum hafal?”. Si Siswa menjawab,” Iya bu, aku lagi banyak pikiran ni.”. Guru yang baik akan menjawab,”Coba Jojon, sebisanya dulu. Sila 1 sampai 3, nanti sila ke 4 dan 5 bareng teman-teman.”. Jangan justru katakan,”Dasar kamu!!”.
Berilah reward sekecil apapun prestasi anak. Misal dia baru bisa baca “Ini baju baru.” Pujilah dia dengan “Pinter, Bagus, Sip!”. Kata-kata positif yang ditujukan kepadanya akan sangat berpengaruh padanya. Pikirannya akan menjadi positif dan akan mudah untuk selalu berpikir positif.
Profil Narasumber
Muhammad Puji Kurniawan, S.Sos, M.Si (Kak Wawan), merupakan seorang pemerhati pendidikan anak yang tergabung dalam Persaudaraan Pendongeng Muslim Indonesia.
sumber gambar : http://visual.hepimizaileyiz.com/99-7823511634744446957824105.jpg