“…monster itu ada di bawah tempat tidurku, Ustadzah…Kalo malem, dia suka ganggu aku. Tadi malem, juga, aku mimpi monster…”
“Siapa yang mau kukasih es krim besok? Kalo mau kukasih es krim, ya, mainnya sama aku…bukan sama dia…”
“Eh…eh…abiku itu keren lho, pas naik motor cepet banget sampe bisa terbang ke luar angkasa…”
Pernahkah Anda menjumpai putra atau putri Anda mengucapkan hal yang senada dengan pernyataan-pernyataan di atas? Sebagian dari Anda mungkin pernah, dan sebagian yang lain mungkin tak pernah. Tapi, saya rasa, hampir sebagian anak-anak pernah mengucapkan hal-hal yang semacam ini.
Berbohong adalah salah satu bentuk perilaku menyimpang yang biasa terjadi dalam tumbuh kembang seorang anak. Ini merupakan salah satu bagian dari perkembangan otaknya.
Bentuk-bentuk kebohongan
Ada anak yang senang sekali memutarbalikkan kebenaran. Misalnya, ia menggunakan uang yang Anda berikan untuk membayar SPP untuk membeli mobil-mobilan baru, dan ia mengatakan pada Anda bahwa mobil itu didapatnya dari teman, sementara uang Anda hilang.
Ada tipe anak yang suka melebih-lebihkan saat bercerita. Misalnya, anak melebih-lebihkan ceritanya soal sang Ayah atau Ibu pada teman-temannya. Seperti ingin memberikan kesan bahwa Ayah atau Ibunya sangatlah istimewa.
Ada pula anak yang senang membual. Misalnya saja, anak menceritakan pengalaman liburan yang tidak ia lakukan. Ia bercerita seolah-olah ia telah pergi ke suatu tempat yang istimewa. Padahal sebetulnya ia tidak melakukan kegiatan liburan apapun di luar rumah.
Konfabulasi. Anak menceritakan sesuatu yang tidak sepenuhnya benar. Bisa jadi adanya kecenderungan otak untuk membuat imajinasi seakan-akan nyata dan pernah dialami.
Menyalahkan orang lain atau sesuatu yang lain untuk kesalahan yang dibuatnya sendiri. Misalnya, anak memecahkan pot tanaman, dan bilang, “Tadi ditabrak kucing…”.
Tapi, mengapa harus berbohong?
Alasan-alasan
Hal pertama yang harus kita ketahui adalah alasan mengapa seorang anak berbohong. Tidak mungkin seorang anak berbuat tanpa memiliki alasan. Sekalipun alasan tersebut tentu saja tidak bisa membuatnya “dibenarkan” untuk berbohong.
Adanya contoh yang salah. Coba kita telaah kembali pada diri kita sebagai orang tua. Sudah benarkah cara kita mendidik anak-anak kita? Bisa jadi, tanpa kita sadari, kita telah mengajari anak berbohong. Dalam hal kecil, misalnya, saat ada telepon dan kita enggan menerimanya, kita meminta anak untuk mengatakan bahwa kita sedang tidak di rumah.
Melindungi diri dari hukuman atau sesuatu yang mengancamnya. Anak-anak yang merasa ketakutan, pasti akan mencari cara agar ia bebas atau terhindar dari hukuman.
Menolak kenyataan, sebagai cara mengatasi ingatan dan perasaan yang menyakitkan. Misalnya, di sekolah, anak dihukum guru. Tetapi, di rumah ia ceritakan bahwa tadi guru memberinya hadiah.
Butuh perhatian. Anak-anak suka melakukan kebohongan untuk mencari perhatian dari orang-orang dewasa di dekatnya. Ini biasa juga terjadi, lantaran si anak merasa perhatian orang-orang di sekitarnya sangat minim terhadapnya.
Belum dapat membedakan antara fantasi dan kenyataan. Ini biasa muncul pada anak-anak yang lebih kecil. Mereka senang pada cerita-cerita khayal, monster-monster atau tokoh-tokoh putri dan ksatria-ksatria. Sering kali mereka mengira bahwa tokoh khayal tersebut benar-benar ada dan nyata.
Melindungi anak lain. Ada sebuah ikatan tertentu pada anak-anak yang membuat mereka merasa “perlu” untuk saling melindungi. Lihatlah anak-anak dalam sebuah kelompok atau geng. Biasanya, mereka memiliki kecenderungan untuk saling melindungi satu sama lain. Jika salah satu dari mereka diganggu kelompok lain, maka anggota kelompok anak itu pasti akan melakukan serangan balik untuk melindungi anggotanya.
Citra diri negatif. Anak yang sering merasa dirinya tidak berarti, sering kali berbohong untuk menaikkan citra dirinya. Ini juga sering kali terjadi pada anak-anak untuk “membeli” temannya. Saat di TK, sering saya jumpai anak-anak melakukan iming-iming palsu pada teman-temannya agar mereka mau bermain dengannya.
Tidak dipercaya orang tua. Misalnya saja, orang tua mengatakan bahwa anak adalah pembohong. Maka citra “pembohong” akan semakin kuat melekat pada anak.
Penanganan
Meski berbohong adalah salah satu bentuk penyimpangan yang “biasa” terjadi pada anak-anak, sepatutnya kita sebagai orang tua untuk lebih waspada dan segera melakukan penanganan agar anak tidak menjadikannya sebuah kebiasaan yang nantinya akan mendarah daging.
Kita boleh memberikan hukuman sebagai pengalaman bahwa berbohong justru merugikan. Selain itu, orang tua juga harus menanamkan pentingnya nilai kejujuran dengan menunjukkan bahwa, bila anak berterus terang mengenai masalah tertentu, orang tua akan membantunya menyelesaikan masalah tersebut.
Berikan contoh yang baik dan lebih mawas diri terhadap kecenderungan yang biasa juga dilakukan oleh orang tua, seperti melebih-lebihkan cerita, ingkar janji, tidak mengakui kesalahan, dan menyuruh anak berbohong dengan mengatakan pada tamu bahwa ayah/ibu tidak ada di rumah.
Berikan umpan balik pada cerita anak yang belum bisa membedakan antara fantasi dan kenyataan. Misalnya, menyuruh anak untuk menceritakan yang sesungguhnya setelah ia bercerita mengenai apa yang tidak pernah terjadi.
Jangan pojokkan anak dengan memberinya cap “pembohong”. Adanya cap tersebut akan membuat anak semakin merasa dirinya rendah dan tidak berguna. Bisa jadi, ia akan semakin menunjukkan “cap pembohong” tersebut dengan selalu melakukan kebohongan-kebohongan.
Sumber gambar : http://www.akhwatindonesia.com/uploads/2015/03/anak.jpg