Efek Negatif Dari Teori Glenn Doman

efek negatif glenn domanMemberikan stimulasi kepada bayi atau anak dengan metode flash card mungkin pernah Anda dengar atau bahkan dipraktekkan. Dikalangan para ahli psikologi dan perkembangan anak, memberi stimulasi dengan metode flash card ini mengundang pro dan kontra.

Ada yang menilai metode ini baik selama sifatnya tidak memaksa dan disesuaikan dengan tahapan. Namun ada pula yang berpendapat stimulasi dengan cara flash card bukanlah stimulasi alami seperti halnya aktivitas bermain pada anak.

Salah satu ahli yang menentang metode stimulasi flash card adalah Psikolog dan Playtherapist dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia Dra. Mayke S.Tedjasaputra, M.Si. Dalam pandangannya, mengajarkan anak dengan flash card termasuk kategori overstimulation atau stimulasi yang berlebihan.

“Tidak benar menyuruh bayi belajar, misalnya dengan flash card karena ini adalah overstimulation. Seorang pakar bermain Brian Sutton-Smith menegaskan ini sudah termasuk cognitive child labor atau secara kognitif anak sudah dipekerjakan terlalu keras,” ungkap Mayke di Jakarta beberapa waktu lalu.

Menurut pendapat Mayke, ketika orang tua menyodorkan flash card berarti anak harus diam dan diminta memperhatikan sehingga anak sudah dituntut untuk belajar. “Di sana yang lebih ditekankan adalah faktor kognitifnya. Padahal di usia awal pertumbuhan yang harus dikembangkan adalah senses-nya (sensomotorik), bukan memori. Artinya, bukan melatih memori secara khusus dengan diperlihatkan flash card. Itu sudah termasuk belajar yang sepertinya ada target yang ingin dicapai. Jadi sudah bukan bermain lagi,” ungkapnya.

Mayke mengakui bahwa dengan pemberian metode flash card yang sifatnya singkat-singkat, mungkin anak akan cepat menangkap, mengingat dan mempelajarinya. Ada banyak penelitian yang mendukung maupun yang menentang metode ini. “Tentu penelitian itu ada yang pro dan kontra. Ada yang mengatakan itu bagus. Tetapi kontra juga sudah mengatakan bukti-bukti bahwa itu tidak baik bagi perkembangan anak karena masa anak adalah masa bermain di mana mereka tak bisa dituntut untuk diam dan belajar dengan suatu materi,” tegasnya.

Mayke juga menilai dengan metode flash card hanyalah membantu percepatan kemampuan untuk sementara, dan yang dikhawatirkan justru anak akan jenuh sebelum waktunya. “Dari hasil penelitian menunjukkan, rangsangan terlalu dini yang sifatnya overstimulation ketika anak sudah bisa membaca hanya merupakan percepatan yang bersifat sementara. Tetapi saat mereka sudah menginjak kelas 4 SD dan prestasinya dibandingkan, tidak ada perbedaan yang signifkan,” terangnya.

Bukti penelitian yang kontra dengan metode flash card tersebut, kata Mayke, salah satunya adalah yang dimuat film berjudul Smart Babies dari Discovery Health Channel. “Di situ, apa dikemukakan Glenn Doman dimentahkan, melalui penelitian psikologis. Para ahli yang dilibatkan dalam riset itu adalah psikiater, ahli neurologi, psikolog anak, pendidik anak,” paparnya.

Yang juga dikhawatirkan, kata Mayke, bila orang tuanya ambisius, mereka menginginkan target tertentu. “Ketika anaknya diajarkan, lalu mereka frustasi, nah itu bahayanya. Metode ini juga dapat memancing orang tua untuk membenarkan bahwa sejak bayi anak harus belajar” ujarnya.

Yang lebih baik, lanjut Mayke, anak diberikan metode dengan apa yang mereka alami secara faktual bukan melalui gambar. “Flash card hanya gambar, gambar yang tidak faktual. Lebih baik mereka belajar misalnya apa itu bola dengan cara memegang dan memainkannya. Karena yang penting dalam tahap ini adalah sensomotor, semua indera perlu dirangsang, Jadi anak tidak hanya belajar dengan melihat dan mengingat kartu-kartu itu,” ujarnya.

Ia menekankan kembali bahwa pada usia balita yang perlu dirangsang adalah sensomotoriknya karena kemampuan berpikirnya masih pra-operasional sehingga yang harus diberikan adalah sesuatu yang konkret, nyata, dialami, dan dirasakan. Akan lebih baik bila anak-anak atau bayi diterjunkan langsung dengan pengalamannya.

Kalaupun mau memperkenalkan gambar kepada anak, lanjut Mayke, orang tua mungkin dapat melakukannya dengan cara menghubungkannya langsung dengan sesuatu yang nyata. “Pada anak usia setahun misalnya sambil dipangku, kita perlihatkan gambar mobil lalu lihat juga mobil ayah seperti apa. Jadi berhubungan dengan sesuatu yang benar-benar nyata,” ujarnya.

Dalam discovery channel dengan judul ”smart babies” dijelaskan bahwa metode ini tidak segegap gempita yang diberitakan. Terdapat 3 asumsi yang menjadi pilar dasar dari ”hothousing” (belajar di usia sangat muda) yang kemudian dapat terbantahkan

a. Asumsi sinapsis

Dikatakan bahwa sinapsis (hubungan antar sel otak) sangat berkembang pada usia dini terutama usia tiga tahun pertama. Karena itu sangat tepat untuk mengoptimalkan otak pada tiga tahun pertama sehingga dapat meningkatkan kecerdasan anak

para ahli psikologi Amerika kemudian mengatakan bahwa benar otak anak terutama usia satu tahun pertama berkembang  secara pesat. Tetapi kemudian mengalami penyusutan pada periode tertentu dan kemudian akan mengalami perkembangan lagi pada periode selanjutnya.

b. Asumsi periode kritis

Dikatakan bahwa anak mempunyai periode kritis yang harus diwaspadai karena bila pada periode tertentu pembelajaran yang seharusnya terjadi tidak terlaksana maka akan mempengaruhi perkembangan dasar anak tersebut.

Asumsi ini dibantah dengan mengatakan bahwa periode kritis ini hanya terjadi pada kemampuan-kemampuan mendasar yang dibutuhkan untuk survival seperti makan, berjalan, dan berbicara. Sedangkan kemampuan belajar matematik, bahasa inggris, dll, yang merupakan kemampuan yang ditransfer melalui perantara budaya dapat terus berlangsung sepanjang hayat.

c. Asumsi enriched environment (lingkungan yang diperkaya)

Dengan menstimulus anak menggunakan flashcard berbagai macam sebagai sarana bayi belajar segala hal berarti kita memperkaya lingkungan belajar bayi sehingga bayi belajar lebih baik.

Pada penelitian yang dilakuan kepada tikus, tikus yang diberikan lingkungan yang kaya, dengan banyak stimulus dan mainan, terbukti bahwa otak tikus menjadi lebih besar dibandingkan tikus yang tidak diberikan stimulus. Tetapi, masalah usia tikus tidak menjadi masalah. Artinya, lingkungan yang diperkaya menguntungkan manusia untuk semua usia, bukan hanya bayi

Diakhir film di ceritakan anak usia 14 tahun yang pada saat ia berusia 2 tahun diberikan flashcard nama-nama pesawat tempur. Ia tidak bisa memberikan jawaban atas nama-nama pesawat yang ditampilkan padanya. Itu dikarenkan ia tidak ingat sama sekali. Ingatan yang diberikan pada saat bayi sama sekali tidak terekam karena ingatannya bersifat hafalan oral. Hafalan yang lebih diingat manusia adalah hafalan yang terkait dengan pengalamannya dan struktur ingatan yang sudah ada di dalam otaknya.

Kesimpulannya, biarkan bayi belajar dengan caranya. Bermain dan berekplorasi. Tidak perlu belajar formal di usia sangat awal. Karna terbukti bahwa anak yang belajar di usia tujuh tahun dapat menyamai prestasi anak yang sudah belajar sejak usia 4 tahun. Di usia 9 tahun, tidak terdapat perbedaan antara anak yang belajar dini dan yang belajar terlambat.

sumber gambar : http://paudanakceria.files.wordpress.com/2011/02/021611_0229_belajarmemb1.jpg?w=530

5 Comments

  1. hmm kayana teori diatas ada benernya, ponakan saya sudah blajar dan dimasukan play group (franchise) dari umur 2 tahun lantaran orang tuanya bekerja, tapi yang ada malahan umur 8 tahun anak ini tidak mau bersekolah lagi.. saya jadi pikir 2 kali untuk memasukan anak saya buru-buru ke pendidikan formal. makasi infonya ya mba

  2. Terima kasih atas ulasan yg menginspirasi saya untuk tetep mempunyai prinsip tidak terpengaruh oleh salah satu teori saja. Sejutu dengan jeng esti, saat ini banyak ortu yg lebih mementingkan aspek kognitif saja dan melupakan bahwa membangun aspek yg lain terutama Bahamians menghargai dan menghormati orang lain juga tak kalah pentingnya…
    Terima kasih

  3. saya setuju dengan ulasan diatas. mengembangkan otak anak (kognitifnya) jangan dilepaskan dengan perkembangan yang lain spt emosi, jiwa mereka. alangkah lebih baik mengajarkan anak dengan dirangsang dengan cara yang tepat dengan menunjukkan benda aslinya bukan sekedar mengingat. dengan begitu kognitif anak dapat berkembang lebih maksimal tanpa ‘paksaan’.
    sedihnya, kebanyakan orangtua di Indonesia bangga dengan kemampuan kognisi anak tanpa memperhatikan perkembangan emosi mereka.

    • saya memasukkan anak untuk sekolah di usia 2 tahun.. menurut saya anak mau atau tidak mau sekolah juga tergantung pada pengertian orang tua. saat saya menyekolahkan anak saya, saya tidak punya target apapun alias tidak memaksa anak saya harus bisa. yang saya inginkan adalah ketika dy sekolah bersama anak-anak seusianya, dy akan merasakan bahwa sekolah itu menyenangkan. saat ini anak saya usia 3 tahun dan sekolah play group, malahan perkembangannya luar biasa bahkan saya sendiri tidak menyangka anak saya sangat senang bersekolah, bertanggung jawab dan lebih mandiri di usianya yg masih sangat kecil. dan yang lebih baik dy mulai bisa bersosialisasi dengan lingkungan yang baru sekalipun.

Comments are closed.