Cara Menghadapi Sifat Khas Anak Balita

Ada alasan mengapa anak balita mulai menunjukkan sifat egois, agresif, bossy, tapi juga suka menyendiri, dan bahkan pemalu. Semuanya wajar asalkan tidak menetap dan sampai menghambat perkembangan dirinya. Untuk itulah sifat-sifat khas tersebut tetap perlu diintervensi agar dapat menempati porsinya yang pas dan memberi kesempatan kepada sifat lain yang lebih baik untuk berkembang sebagai karakter anak.

Cara menghadapi sifat khas anak balita antara lain:

1. Egosentris

Sifat yang umumnya muncul pada usia 15 bulanan (atau saat anak sudah sadar akan dirinya) ini disebabkan oleh ketidakmampuan si kecil dalam melihat suatu hal dari sudut pandang orang lain. Jadi semua masalah akan diteropong dari kaca mata dirinya. Bila ingin sesuatu harus didapat saat itu juga serta tidak mau menunggu.

Bila dilihat dari perkembangan kognitif, sifat egois akan menghilang saat usia anak 6 tahun. Karena semakin besar anak, lingkungan sosial akan menuntut anak untuk sadar akan lingkungan, selain sadar diri. Nah, pada saat usianya menginjak 3 tahun, sebenarnya anak sudah mulai sadar akan tuntutan sosial tersebut namun perlu stimulasi dari orangtua. Jika sifat ini dibiarkan terus dalam diri anak akan berdampak buruk pada pribadi anak, dia akan selalu mendapatkan apa yang diinginkannya tanpa mempertimbangkan adanya aturan-aturan sosial.

Memang masih agak sulit balita diberi pengertian. Meski ada beberapa anak yang sudah bisa. Namun bagaimanapun di usia balita ini orangtua sudah harus menerapkan aturan-aturan disertai pengertian kepada anak bahwa tidak semua keinginan anak harus terpenuhi.

2. Bossy atau suka perintah

Bossy atau suka perintah sebenarnya masih berhubungan dengan sifat egosentris. Sifat ini merupakan kelanjutan dari usia bayi dimana anak sebelumnya selalu diladeni. Saat memasuki usia balita dimana anak sudah tidak lagi bergantung sepenuhnya dengan orang dewasa, dalam arti ia sudah bisa jalan, bicara, dan melakukan apa pun yang diinginkannya, anak merasa memiliki otonomi. Sikap otonom ini sering dibarengi dengan sikap menyuruh orang lain demi mendapatkan apa yang diinginkan. Yang jelas, sifat bossy tidak akan menghilang dengan sendirinya. Karena anak merasa keenakan.

Untuk mengatasi sifat anak yang bossy bisa dengan cara :

  • Ajarkan kemandirian (dari hal-hal sederhana) secara bertahap seperti cuci tangan sebelum makan, makan sendiri, buka sepatu dan lain sebagainya.
  • Jangan menampilkan sikap bossy pada siapa pun (termasuk pada PRT) karena si kecil akan mudah “terinsiprasi” untuk bertingkah laku yang sama.
  • Bila anak sudah terlanjur bossy dan terbiasa main suruh, coba bangun kemandiriannya dan dorong ia untuk mengerjakan segala sesuatunya sendiri.

3. Agresif

Sifat ini sebetulnya sudah tampak sejak usia bayi (terutama pada bayi dengan temperamen sulit). Namun akan semakin kerap kemunculannya di usia balita. Si kecil merasa keinginannya tidak dipahami oleh orang dewasa (berkaitan dengan komunikasi anak balita yang masih terbatas). Agresivitas juga dapat muncul karena kebiasaan. Sifat agresif yang tidak diantisipasi bisa menjadi kebiasaan dan berlanjut hingga usia dewasa nanti. Di saat usia anak tentunya ia akan dijauhi teman-teman, dicap nakal, sehingga pada akhirnya anak sendiri akan menerima bahwa dirinya “trouble maker” hingga ia besar nanti.

Cara menyiasatinya dengan :

  • Saat anak tantrum, peluk atau pegang tangan/badannya. Biarkan ia marah. Setelah kemarahannya reda orangtua bisa tanyakan penyebabnya sesuai dugaan atau perkiraan orangtua. Dalam keadaan emosional, anak balita akan bingung mengatakan apa penyebab rasa kesalnya. Lebih baik, kita yang mendefinisikan perasaannya. Cara ini membuat anak merasa dipahami perasaannya.
  • Jangan menanggapi agresivitas anak dengan cara yang agresif pula. Memang benar anak tidak akan meneruskan sikap agresifnya, namun anak justru memperoleh gambaran bahwa sikap kasar itu diperbolehkan.
  • Beri penjelasan. Memang bukan pekerjaan mudah menjelaskan pada anak balita. Karena hanya sekali diberi tahu tidak akan membuatnya patuh dan melupakan sifat agresifnya. Jangan putus asa, lama-kelamaan jika selalu dijelaskan, anak akan belajar bahwa untuk mendapatkan sesuatu tidak harus dengan sikap agresif.

4. Pemalu

Si kecil kerap bersembunyi di balik kaki ibu/bapak atau terus-menerus memegangi baju kita saat bertemu orang lain? Atau kala ditanya, anak memilih diam dan menundukkan kepala? Kalau memang ya, bisa jadi memang ia pemalu. Namun bisa juga karena ia takut pada orang asing atau tidak terbiasa bertemu dengan orang banyak.

Umumnya, sifat pemalu anak yang karena pembawaan pribadi (diturunkan dari orangtua yang juga pemalu dan tidak suka bersosialisasi) akan terbawa sampai dewasa. Meski tak ada dampak buruk pada anak, namun bisa membuat anak kehilangan peluang dalam dalam berbagai hal, dibandingkan dengan anak yang aktif dan berani. Sifat pemalu juga membuat anak sulit mengembangkan diri dan beradaptasi dengan lingkungan sosialnya.

Cara menyiasati anak pemalu sebaiknya orangtua sering membawanya untuk bersosialisasi. Latih sejak dini dengan memasukkan anak pada lingkungan sosial dimana banyak anak bermain seperti di taman bermain. Awalnya mungkin anak merasa takut, jadi temani sementara waktu.

Setelah beberapa lama biasanya anak bisa ditinggal dan berbaur bersama anak-anak lainnya. Bisa juga anak diajak ke tempat-tempat pertemuan atau ketika orangtua bertemu dengan kenalan di jalan, anak bisa diminta untuk mengenalkan dirinya atau menyapanya.

5. Penyendiri

Sifat penyendiri pada usia balita selain dikarenakan perkembangan kognitif anak dalam melihat sesuatu masih dari sudut pandangnya sendiri, perkembangan sosialnya pun masih belum berkembang baik. Anak baru mulai sadar akan adanya tuntutan dari lingkungan sosial di usia 3 tahun ke atas. Lantaran itulah, saat bermain, anak tampak soliter (lebih suka bermain sendiri) meski ada teman di sampingnya. Sifat penyendiri akan menghilang setelah usia balita. Apalagi jika anak sudah berelasi dengan teman-temannya. Namun pada beberapa anak memang sifat penyendiri ini bisa menjadi kebiasaan yang terbawa pula sampai nantinya.

Soal dampak, sebenarnya sifat penyendiri tak jadi masalah. Bahkan hingga usia dewasa pun sebetulnya sifat ini terkadang diperlukan. Karena adakalanya manusia perlu sebagian waktu untuk menyendiri dan sebagian waktunya lagi bersosialisasi. Hanya kalau sifat penyendiri si balita sudah keterlaluan, misal, dia lebih memilih menyendiri sampai 24 jam terus-menerus, ya tidak boleh dibiarkan. Sebab anak tetap perlu beradaptasi dan bersosialisasi dengan lingkungan sosial yang ada.

Cara menyiasati sama seperti halnya anak yang pemalu, orangtua perlu mengajak anak dalam kegiatan bersama dan bersosialisasi. Mulailah dari lingkungan orang dekat, seperti taman bermain dekat rumah yang banyak dikunjungi anak-anak tetangga, dan acara keluarga agar anak mengenal sepupu dari keluarga ayah dan ibunya. Setiap saat, ajaklah anak berkomunikasi dan jangan lupa sediakan waktu untuk mendengarkan dan menanggapi setiap ujarannya. Semakin ia percaya bahwa kita bersedia menjadi pendengarnya yang sabar, anak akan semakin berani bicara dan lebih bersikap terbuka.

Sumber gambar :http://www.theyoungmommylife.com/uploads/2013/03/Shy-Child.jpg