“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun masing-masing ada kebaikan” (H.R. Muslim). Kekuatan seorang mukmin tidak semata terletak pada fisiknya, namun juga pada mentalnya. Orang tua hendaknya membantu untuk mendidik anak agar kuat mentalnya dan bukan justru memperlemahnya.
Kelemahan mental yang terbesar bagi seseorang adalah ketika ia selalu menggantungkan diri kepada bantuan orang lain, takut menghadapi tantangan, ingin segera mendapat hasil tanpa mau berpayah dengan prosesnya, dan tidak mampu menerima kekalahan. Mental lemah seperti ini ternyata telah mulai berkembang sejak kecil, artinya pola mendidik anak yang diterapkan oleh orang tua ikut andil dalam pembentukan kekuatan mental anak.
Perlu dipahami bahwa orang tua senantiasa memberikan pelayanan terbaik dalam mendidik anak dan semua itu dilakukan karena cinta, tanpa pamrih sedikit pun. Namun sebagian orang tua salah menerapkan cinta pada anak dengan terlalu memanjakan. Orang tua selalu melindungi anak dari tantangan, memenuhi segala permintaan anak karena takut anak menjadi sedih atau susah. Tanpa disadari perilaku seperti itu justru membangun mental yang lemah bagi anak.
Sebagai orang tua, memberikan kasih sayang kepada anak memang perlu dilakukan, namun dengan tetap membangun mental juara pada diri anak-anak. Berikut ini adalah beberapa cara mendidik anak mempunyai mental juara (bagian 1):
1. Konsisten dalam menjalankan aturan dan kesepakatan bersama anak.
Aturan perlu diterapkan agar anak mampu belajar bertanggung jawab. Pembuatan aturan dapat dilakukan bersama dengan anak melalui kesepakatan. Misalnya saat akan pergi berbelanja, buat kesepakatan dengan anak bahwa tidak akan ada mainan yang dibeli. Anak-anak harus belajar mematuhi aturan tersebut, demikian pula orang tua harus konsisten untuk membantu anak-anak belajar bertanggung jawab.
Apabila anak kemudian merengek bahkan menangis untuk dibelikan mainan, maka ingatkan pada kesepakatan awal. Biasanya tangisan akan meluluhkan hati orang tua. Namun dalam hal ini, ketegasan diperlukan karena orang tua sedang membantu anak belajar, bukan sedang menyakitinya. Anak harus memahami bahwa dia tidak selalu mendapatkan apa yang dia inginkan.
2. Berikan kesempatan pada anak untuk mandiri.
Sebagian orang tua yang menyayangi anak justru merampas kesempatan belajar mereka untuk mandiri dengan cara melakukan hal-hal yang sebenarnya menjadi tugas pribadi anak. Orang tua mungkin terkadang memberi nasehat pada anak “jika selesai makan, piringnya letakkan di tempat cuci” namun tidak membiarkan anak-anak melakukan hal itu, alih-alih orang tua sendiri yang melakukannya.
Alasan orang tua biasanya adalah yang penting anak sudah mengerti bagaimana seharusnya, tetapi orang tua lupa untuk membiasakan anak melakukan yang seharusnya. Beri penjelasan mengenai tugas anak, lalu ajarkan dan beri contoh, kemudian jangan lupa untuk membiarkan anak menjalankan kewajibannya sendiri seperti merapikan tempat tidur, memakai sepatu, menyapu kamar, dan lain-lain. Hasil kerja anak mungkin tidak sempurna di mata orang tua, hal itu tidak mengapa sebagai proses belajar. Tetap beri semangat agar anak terus meningkatkan kemandiriannya.
Demikianlah dua cara mendidik anak agar memiliki mental juara. Nantikan dua cara lagi yang akan hadir pada tulisan selanjutnya. Selalu belajar dan belajar, termasuk dalam mendidik anak, adalah sebuah bukti bahwa kita berusaha untuk menjaga amanah besar yang dititipka Allah kepada kita. Semoga yang sedikit ini bermanfaat bagi kita semua.
Profil Penulis
Aji Cokro Dewanto. Alumni Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Sekarang sedang mendalami Psikologi Pendidikan di Magister Profesi Universitas Gadjah Mada
sumber gambar : http://deslisumatran.files.wordpress.com/2010/03/juara.jpg