Anak Bunda Masih Sering Malas Sekolah? Jangan Panik, Coba Tips Ini!

Setiap orangtua pasti menginginkan anaknya menjadi anak yang pintar, dan cerdas. Tapi, bagaimana ceritanya jika tiba-tiba anak malas sekolah?

Tips mengatasi anak malas sekolahHampir setiap orangtua pasti menginginkan anaknya menjadi anak yang pintar, hebat, dan cerdas. Tapi, bagaimana ceritanya jika si kecil mogok belajar dan malas sekolah?

Kondisi seperti ini tentu sudah sering Bunda alami, terutama bagi Bunda yang memiliki buah hati usia 3 – 7 tahun. Rutinitas menjelang berangkat sekolah yang biasanya berjalan lancar, terkadang harus diwarnai dengan insiden kecil ketika buah hati tercinta tidak mau berangkat sekolah.

Sebagai ibu pastinya kita sering panik, kenapa tiba-tiba si kecil mogok ke sekolah? Jika si kecil ekspresif dan bisa menceritakan alasannya, mungkin tidak akan terlalu susah untuk bunda. Tapi, lain cerita jika si kecil memberikan jawaban sesukanya “Pokoknya malas saja!”

Di sinilah kemampuan bunda diuji untuk bisa membaca suasana hati si kecil. Berikut ini beberapa tips mengatasi anak malas sekolah, dikutip dari Theurbanmama.com.

1. Mungkin ini bukan masalah besar

Tentu saja, tidak semua peristiwa yang tidak biasa membawa kita pada sesuatu yang “serius” yang harus kita perhatikan pada anak kita. Sebagai orang dewasa kan juga bisa ya, tiba-tiba satu hari jadi orang galak sedunia tanpa sebab, atau lagi pengin santai-santai aja, tanpa alasan yang terlalu penting, atau sedang tidak mood saja untuk melakukan sesuatu. Bisa jadi anak juga hanya sedang seperti itu. Jadi tenang, tidak perlu langsung panik atau emosi.

2. Bertanya pada anak

Tentu, langkah selanjutnya ketika kita melihat ada yang tidak biasa adalah menanyakan ke anak. (Jangan langsung asal tebak sendiri ya.) Tentu harapannya adalah kita bisa segera mendapatkan jawaban yang jelas, “Badanku kok soalnya rasanya aneh ya, Bu. Agak pusing juga.” Misalnya begitu. Jika belum mendapatkan jawaban, silakan ke langkah berikutnya.

3. Bandingkan dengan diri kita sendiri

Untuk menebak-nebak, apa sebenarnya yang dipikirkan atau dirasakan Lintang, kadang kala saya mencarinya dalam diri saya sendiri. Situasi macam apa sih yang membuat saya tidak nyaman dan malas? Lalu, saat saya mengalami hal semacam ini, bagaimana respons saya? Apa yang saya lakukan agar tidak malas? Kira-kira pertanyaan seperti itulah.

4. Apa ada pelajaran yang tidak disukai dan coba dihindari?

Selanjutnya, saya melihat ada pelajaran apa saja hari itu. Dan coba ajak Lintang mengungkap perasaannya tentang setiap pelajaran itu.

“Wah hari ini ada menggambar ya, Tang. Kemarin Lintang dapet bintang waktu menggambar apa?” misalnya begitu. Kalau pancingan pertanyaan itu mendapat respons yang positif, misalnya cerita tentang kesenangnya karena tahu cara mewarnai telur atau gelas sehingga bisa terlihat ada bagian yang mengilap, maka bisa dipastikan ia tidak masalah dengan pelajaran itu. Coba lagi dengan pelajaran-pelajaran lain hari itu. Untuk semua yang oke, maka kita bisa menambahkan kalimat penguat misalnya, “Wah, berarti asyik ya di sekolah itu!” atau “Senang ya Lintang sama pelajaran ini… itu…”. Begitu misalnya.

5. Ajak anak mengenali perasaannya.

Anak tentu belum terlalu pandai mendefinisikan perasaannya sendiri (jangankan anak, kita yang dewasa juga kadang susah kan), jadi keluarlah kata malas. Bisa jadi, di belakang itu sebenarnya ada kata yang lebih tepat, yang perlu kita kenalkan.

Ketika dari hasil obrolan tentang pelajaran, semuanya Lintang suka, maka saya berkata,  “Kalau begitu, menurut Ibu, Lintang tidak sedang malas sekolah deh, itu buktinya Lintang senang di sekolah. Pelajaran hari ini juga semua Lintang senang.”

Lalu masuk ke pertanyaan utamanya,” Jadi, mungkin, ada sesuatu yang membuat Lintang tidak nyaman di sekolah hari ini?” atau “Khawatir akan sesuatukah?”

Dengan menggunakan kata “khawatir”, “tidak nyaman”, dan semacamnya itu sebenarnya adalah cara saya untuk mengenalkan berbagai perasaan kepada Lintang. Jadi, alasannya enggan ke sekolah itu bisa jadi bukan karena malas mengikuti kegiatan sekolahnya, tetapi karena ada hal-hal tertentu di sekolah yang membuatnya merasa tidak nyaman. Beruntung kalau kemudian Lintang bisa memahami itu, dan kemudian menceritakan apa sebenarnya yang membuat tidak nyaman. Dan sekali lagi, kalau itu tidak terjadi, PR bagi kita sebagai orangtua, untuk membantunya mengenali, dengan menebak-nebak.

6. Kumpulkan semua informasi

Sebagai orangtua, tentu kita sudah punya banyak informasi tentang anak kita. Dari cerita-cerita sehari-harinya, dari perilakunya, dan sebagainya, termasuk informasi tentang cara menghadapi anak, yang kita dapat dari banyak sumber.

Misalnya, eh, kemarin itu Lintang pernah cerita ada gurunya marah-marah di kelas karena ada temannya yang jalan-jalan di kelas. Itu ceritanya hari apa ya? Guru yang marah itu ngajar apa ya? Hari ini, ada pelajaran itu atau tidak ya?

Di kasus ini – yang terjadi beberapa tahun lalu – saya hampir yakin, ‘guru galak’ inilah penyebabnya. Ya memang sangat disayangkan ya, masih ada guru yang marahnya masih seperti zaman dulu, dengan menggebrak meja, membentak, atau menyobek buku anak.

7. Pertahankan ketenangan, jangan menambah “keriuhan”

Kemudian yang saya lakukan adalah dengan tetap pura-pura tenang. Jelaslah pura-pura, karena otak saya sedang berputar buat menemukan segala macam solusi agar ia bisa berangkat sekolah hari ini dengan semangat seperti biasa, jelas pura-pura tenang juga, karena ini pagi-pagi yang waktunya berjalan sepuluh kali lebih cepat.

Maka dengan ketenangan itu, saya buka lagi agenda Lintang, terus pura-pura juga baru melihat ada tulisan di situ, “Oh, hari ini ternyata ada pelajaran ini juga ya, Tang? Ini pelajaran yang gurunya kemarin Lintang cerita marah kepada teman Lintang karena berjalan-jalan di kelas bukan?”

Ketika jawabannya iya, maka saya teruskan dengan. “Oh… mungkin, hari ini ini Lintang merasa tidak nyaman mau ke sekolah, karena ada guru ini, dan Lintang khawatir hari ini ia marah-marah lagi ya?”

Tentu kita berharap ia akan mengiyakan. Tapi sayangnya… belum tentu! Entah karena memang tebakan kita salah, atau, anak tidak mau mengakui kalau itu yang dirasakan, atau, karena memang anak belum merasa yakin dan tahu apa sebenarnya yang ia rasakan.

8. Beri “senjata” ke anak

Pada tahap ketika tebakan kita disanggah oleh anak, biasanya saya meggunakan hati. Saya yakin, semua orangtua punya keterikatan yang sangat kuat dengan anaknya. Maka sebenarnya kita bisa merasakan apa penyebabnya. Maka, kalau 85% lebih saya meyakini tebakan saya tepat, biasanya saya akan “membenahi” bagian itu.

Tentu saja, tidak perlu dengan memaksa, “Ah, pasti deh karena itu!”, atau yang lebih memaksa lagi, “Ah, mengaku aja, takut gurunya marah lagi, kan?” Tidak perlu! Bagi saya, itu semakin mengecilkan hati anak. Menurut saya, kata “takut” yang kita tambahkan di kalimat itu, justru menambahkan nuansa emosional yang makin negatif.

Jadi yang saya lakukan adalah, tidak peduli itu penyebab masalah utama atau bukan, saya beri saja petunjuk atau cara menghadapi situasi kalau-kalau guru itu marah lagi.

Misalnya begini. “Oke, mungkin bukan karena itu Lintang merasa kurang nyaman di sekolah hari ini. Tapi, ibu mau beritahu saja, kalau nanti guru itu marah-marah lagi ke teman Lintang, Lintang ingat saja bahwa itu marahnya ke teman Lintang, bukan ke Lintang. Jadi, Lintang tidak perlu takut atau merasa ikut dimarahi. Suara orang marah itu memang keras, kadang tidak nyaman di telinga, memang begitu, tetapi ingat aja lagi, suara keras itu bukan buat Lintang. Jadi tenang saja!”

Kalau tebakan kita benar, biasanya sih dengan kata-kata menenangkan macam ini, kita bisa melihat ada ketenangan yang muncul juga dalam diri anak kita. Walaupun tidak langsung membuat anak semangat ke sekolah lagi, setidaknya ia terlihat lebih tenang.

9. Alihkan fokus perhatian anak

Daripada terus-menerus memikirkan kekhawatiran guru marah. (Perlu ingatkan juga, belum tentu hari ni gurunya marah lagi kan?), maka sebaiknya kita juga mengalihkan perhatiannya.

Misalnya: bicarakan lagi pelajaran-pelajaran yan menyenangkan buat anak hari ini. “Kira-kira hari ini menggambar apa, ya? Atau, “Kalau disuruh menggambar bebas, mau gambar apa nanti?”

Atau, saya memberinya “tugas” untuk mengingatkan temannya, agar tidak jalan-jalan lagi waktu pelajaran, agar guru mereka tidak marah-marah di kelas. Ada anak yang suka kala dipercaya atas tanggung jawab tertentu, kan? Nah, menjadi “pejabat yang berwenang” mengingatkan temannya untuk jadi anak baik, siapa tahu membuat anak lebih bersemangat? Kenapa tidak dicoba, kan?