Orangtua Kecanduan Gagdet? Waspadai Dampak Buruknya Pada Anak!

Jika orangtua kecanduan gagdet, dampaknya tidak hanya terjadi pada dirinya sendiri tapi juga mengorbankan keluarga dan masa depan buah hatinya.

Dampak orangtua kecanduan gadgetHidup di era serba digital seperti sekarang ini, membuat kehadiran gadget seolah sama pentingnya seperti nasi yang menjadi makanan pokok masyarakat Indonesia. Yang lebih memprihatinkan lagi, sekarang ini tidak hanya generasi milenial (para remaja) saja yang kecanduan gadget, tapi juga mulai melanda kalangan orangtua.

Yang menjadi masalah disini, kalau yang kecanduan gagdet kalangan remaja, maka yang mendapat dampak buruknya hanya terjadi pada anak tersebut. Lain halnya jika yang kecanduan gagdet justru orang tua, dampaknya tidak hanya terjadi pada dirinya sendiri tapi juga mengorbankan keluarga dan masa depan buah hatinya.

Parahnya lagi, bagi kalangan orang tua saat ini gadget menjadi pelepas lelah setelah mereka pulang kerja. Tak jarang pula orangtua menjadikan gadget sebagai “alat penghibur” saat kondisi rumah sedang kurang nyaman. Akibatnya orangtua lebih sibuk dengan perangkat gadget dan komunikasi dengan buah hati pun ikut berkurang.

Bahaya orangtua yang kecanduan gadget ini pernah disampaikan Wakil Menteri Pendidikan Inggris, Tristram Hunt yang mengingatkan para orangtua agar tidak kecanduan smartphone.

Menurutnya banyak orangtua muda yang  lebih tertarik memperbarui status di Instagram, Facebook atau Twitter, memeriksa pos-el atau belanja lewat internet dibandingkan dengan mengajari balitanya dengan berbicara dengan pola-pola ujaran berulang dan berirama agar ditiru anaknya.

“Anak-anak yang mulai sekolah tak mampu berbicara dengan benar akibat orang tua meraka terlalu sibuk dengan smartphone atau media sosial ketimbang ngobrol dengan anak mereka,” kritik Hunt seperti dilaporkan dailymail belum lama ini.

Hunt mengaitkan kritikannya dengan risiko dampak merokok dalam mobil yang berisi anak-anak. menurutnya adalah tanggung jawab orang tua terhadap perkembangan keluarganya,termasuk kesehatan anak-anaknya.

Munculnya smartphone, sebelumnya telah dikaitkan dengan kecelakaan anak-anak lebih banyak di taman bermain karena orang tua tidak mengawasi dengan benar. Tapi Hunt memperingatkan bahwa dampak jangka panjang bisa menjadi lebih signifikan, dengan anak-anak tak mampu berbicara karena mereka diabaikan di rumah. Hunt justru mengatakan masalahnya adalah sekarang sangat serius dimana orang tua bahkan telah berhenti berbicara dengan anak-anak mereka saat di rumah dan lebih nyaman berinteraksi dengan smartphone masing-masing.

“Dampak dari orangtua tidak berbicara dengan anak-anak mereka, melainkan menggulir (scrolling) lewat pos-el, update status, memeriksa skor sepak bola, memesan di Amazon, dan asyik di Twitter – menyebabkan anak-anak sekolah tidak mampu berbicara dengan baik,” imbuh Hunt seperti dimuat dalam artikel untuk Telegraph.

Menurut Hunt selama ini sekolah sudah terlalu sering untuk diandalkan dalam mengatasi kesenjangan belajar khususnya masalah kemampuan bicara muridnya, akan tetapi orangtua yang buruk yang (sebenarnya) bersalah. Ini,sambungnya, bukan masalah materi semata. Namun hendaknya setiap orangtua mampu untuk berbicara dengan anak-anak mereka secara baik dan benar sejak dini.

Tapi ia menyalahkan masalah budaya pada orang tua yang buruk, yang sering merupakan korban keburukan menjadi orangtua itu sendiri. Mereka tidak mengerti dampak kumulatif dari bergulir atas bawah pada layar smartphone mereka daripada terlibat diskusi dengan buah hati hingga minimal usia 6 bulan.

“Kata-kata berirama dan dongeng pengantar tidur anak-anak mungkin kurang menarik bagi orangtua daripada Instagram, tapi sukses jangka panjang anak-anak sebenarnya dapat bergantung pada para orangtua dalam mengajarkan biacara,”tegasnya.

SUMBER