Mengajarkan Balita Membaca

membacaPutri sulungku Nadzira yang berumur 4 tahun, sedang belajar membaca. Beberapa metode membaca cepat dan menyenangkan saya coba. Seperti metode Quantum Learning, abaca baca, anak islam suka membaca dan Glenn Doman. Pertama dari mengenalkan  alfabet dan bunyinya dengan menyanyikannya, harapannya agar ia cepat menghafal semua jenis huruf. Tapi dalam perjalanannya cukup lama juga untuk menghafal jenis-jenis huruf alfabet tersebut dan belum hafal-hafal juga. Lalu saya mencoba menghubungkannya dengan tulisannya bahwa yang bunyinya a itu tulisannya seperti ini. Barangkali agak membingungkan buat dia ya, sama halnya dengan ketika kita melihat simbol-simbol morse, atau simbol-simbol komponen listrik semacam resistor, kapasitor, trafo, dioda , dan sebagainya. Dimana saat usia kita sudah cukup dewasa dan sangat matang untuk bisa mengenal dan menghafal lebih cepat saja membutuhkan waktu dan kemauan untuk bisa mengenal simbol-simbol tersebut.

Pertama-tama saya langsung mengenalkan huruf-huruf alfabet beberapa buah kemudian saya langsung menyambung dengan huruf a sehingga membentuk sebuah suku kata. Misalnya ba, ca, da, fa, dan juga mencoba membedakannya dengan tanpa disambung. Misalnya antara b dengan ba, c dengan ca, dan seterusnya. Pada awalnya agak sulit menggunakan metode ini, tapi alhamdulillah bagaimanapun saya harus menghargainya karena sudah bisa mengenal sampai a, ba- ca-, da- dan membedakannya dengan huruf tunggalnya a, b, c, d. walaupun pada awalnya ia mengalami kesulitan untuk membedakan antara ba dengan da dan antara b dan d. tapi yang terpenting adalah metode ini harus dilakukan secara konsisten dan sesering mungkin. Barangkali sehari harus lebih dari sekali ya. Tampaknya dia jadi senang membaca. Setiap menemukan tulisan pada buku-buku atau majalah, koran yang mengandung unsur huruf-huruf yang dia kenal, dia langsung mengucapkannya. Terkadang dia juga berlagak sangat serius  membaca sambil terus bergumam, dan entah apa yang dia ucapkan. Dan sayapun yakin dia sendiri tidak mengerti apa yang dia ucapkan. Tapi biarlah yang penting semangat. Langkah awal yang bagus untuk bisa membaca ya…

Suatu hari saya mencoba menggunakan metode yang menggunakan gambar sebagai cantolan untuk mengenal suku kata. Misalnya gambar baju untuk suku kata – ba  -; gambar cangkir untuk suku kata – ca -: sampai pada suku kata -pa-, dan seterusnya ternyata amat sangat mudah baginya mengingat  suku kata tersebut ketika besoknya saya tanyakan kembali. Tapi ada yang lucu ketika saya menanyakan suku kata ka- yang dikaitkan dengan gambar kapal. Kebetulan gambar yang saya buat mirip perahu, maka dia menjawab pra- waduh sayang ini gambar kapal…yah ga ada salahnya dia menjawab dengan pra- yang berarti perahu. Begitu pula dengan suku kata ja- yang saya kaitkan dengan jari, dimana saya menggambar telapak tangan dengan 5 jari. Maka ketika saya tanyakan ini apa? Dengan polosnya dan PDnya dia menjawab kuku jari. Wah…wah…ini berarti dia faham, karena melihat gambar bukan melihat tulisan. Sehingga dia menebak-nebak dengan mencoba mengingat-ingat apa yang telah diajarkan kepadanya, kira-kira bacaannya apa ya???. Akhirnya saya mencoba menutup gambar-gambar tersebut apakah dia masih bisa menyebutkan bacaan suku kata dengan benar seperti sebelumnya.

Ternyata…dia bingung!!!. Saya jadi ikut bingung. Bagaimana saya harus mengajarkannya? Kembali ke metode awal. Sekalipun lambat tapi dia tetap ingat walaupun tanpa gambar. Ataukah tetap dengan gambar? Apakah memang ini proses yang harus dilaluinya untuk bisa membaca dengan menggunakan cantolan gambar.

Tapi saya juga tidak terlalu memaksanya untuk bisa membaca dengan cepat. Mungkin saya tidak perlu latah ikut-ikutan bahwa anakku sudah harus bisa membaca pada usia ini. Memang banyak anak pada zaman sekarang seusia ini sudah bisa membaca. Saya mungkin harus membesarkan hati bahwa setiap anak berbeda dan masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Masih belum terlambat ya..Lagi pula saya selalu teringat dengan ucapan ibu Ratna megawangi pendiri Indonesian Herritage Foundation ketika beliau menyampaikan seminar tentang pendidikan karakter pada anak usia dini di sebuah hotel: “saya belajar membaca dan baru bisa membaca ketika berusia 9 – 10 tahun, BUT i am OK” maksudnya beliau menekankan untuk menanamkan pendidikan karakter, untuk membentuk manusia yang berkarater. Karena pada usia dini adalah usia yang tepat untuk membentuk manusia dan generasi yang berkarakter. Penekanan yang terlalau besar pada aspek kognitif atau Intelegence Quotion (IQ) pada rentang usia ini, menurut beliau biasanya akan menyebabkan anak akan mengalami kejenuhan dan kebosanan pada usia 9 – 10 tahun. Sehingga menyebabkan prestasi belajar anak menjadi menurun drastis.

Lagipula banyak pendapat mengatakan, bahwa fakta membuktikan anak-anak yang berkarakter baik atau dengan kata lain anak yang memiliki kecerdasan emosisonal (EQ) tinggi lebih berpeluang untuk meraih kesuksesan dibandingkan yang memiliki IQ tinggi tetapi EQ rendah. Disatu sisi rendahnya kecerdasan EQ akan menyebabkan seseorang mudah stress, berang meskipun hanya dalam tekanan sekecil apapun. Bukti nyata dan sangat sering kita dengar dan temukan adalah bunuh diri pelajar, tawuran pelajar, mahasiswa, aksi anarkis, merusak, sehingga merugikan banyak orang sekaligus pemerintahan, yang mau tidak mau harus menanggung kerusakan tersebut. Lagi-lagi uang rakyat harus terpakai untuk sesuatu yang tidak penting, yang seharusnya bisa dialokasikan untuk kesejahteraan meraka.  Begitu pula kalo kita lihat perkelahian di dalam gedung pemerintahan pada saat rapat anggota DPR/MPR yang notabene mereka adalah orang yang terpelajar, seharusnya bisa memberi contoh dan teladan yang baik. Contoh yang paling nyata sekaligus menyakitkan juga adalah tindakan korupsi para wakil-wakil rakyat, yang mengaku ingin membawa aspirasi rakyat untuk mensejahtrakan rakyat, tapi kenyaataannya malah menyengsarakan rakyat.

Banyak negara yang melakukan perombakan pada sistem pendidikan mereka yang beorientasi pada pembentukan karakter atau emosional, sehingga dalam waktu 10 -20 tahun mereka sudah bisa merasakan keberhasilannya yang sangat mempengaaruhi kemajuan negara  sementara sistem pendidikan dinegara kita ini, indonesia, masih terlalu menekankan pada perkembangan aspek IQ. Masih sedikit sekali memperhatikan pembentukan karakter anak. Pelajaran agama dan pendidikan moral yang diberikan sangat sedikit sekali apersentasenya, lagi pula, sekalipun sudah hafal P4 dan butir-butirnya dan segala macam norma-norma tidak memberikan benyak pengaruh terhadap pembentukan karakter anak. Pasti ada yang salah???

Lihat artikel lainnya:

  • Yuk Cerdaskan anak sedini mungkin
  • Menjadi orang tua sekaligus guru emosi bagi anak
  • Keluarga wadah penggodokan emosi yang utama