Ketika Harus Berpisah…

Ketika Harus BerpisahCERAI. Satu kata itu sungguh membuat saya bergidik. Bagaimana jika itu “harus” terjadi dalam kehidupan pernikahan saya? Na’udzubillahi min dzaalik…Rabbighfirlii…

Pemberitaan artis-artis yang cerai di media makin banyak saja. Saya bukannya mengkonsumsi berita semacam itu. Tidak. Tapi, mau tak mau tersiar pula meski saya hanya mendengarnya sepintas lalu dari ibu-ibu di tempat belanja, atau obrolan gadis-gadis muda saat saya ke toko buku, atau bahkan saat saya menyempatkan diri membaca berita di internet.

Dalam perjalanan pulang ke Jogja pun, saya sempat menangkap telepon seorang ibu-ibu dengan temannya soal Manohara. Waw…sempat-sempatnya bergosip saat di bus. Ck..ck…Saya hanya bisa tersenyum-senyum sendiri dan memilih tidur.

Kembali pada topik cerai. Saya sering heran, mengapa harus ada perceraian? Kemana cinta yang selama ini begitu disanjung dan dijunjung tinggi oleh dua insan tersebut? Kemana perginya kata-kata romantis, bujuk rayu, senyum malu-malu dan tatapan mesra? Saya betul-betul tak habis pikir.

Teringat pada pernikahan seorang teman yang hanya bertahan tak lebih dari empat puluh hari. Secepat itu? Saya sendiri sempat dimintai tolong untuk merujukkan mereka berdua, namun gagal, karena pihak laki-laki ternyata tak tegas dalam mengambil keputusannya. Justru saya yang menangis saat mereka memutuskan benar-benar bercerai. Tentu saya tak bisa memaksa bukan? Pernikahan itu terjadi pun tanpa persiapan yang matang. Saya juga bingung, darimana sahabat saya bisa “menemukan” calon suaminya secepat itu?

Ketika perceraian itu terjadi, kedua belah pihak menjadi saling membenci. Saling menjatuhkan satu sama lain. Fitnah menyebar kemana-mana, bahkan menjadi konsumsi di kalangan ikhwan dan akhwat ngaji. Masya Allah….Astaghfirullah…

Ada pula perceraian yang lain, berbuntut pada rebutan anak dan rebutan harta gono-gini. Lagi-lagi, anak-anak yang jadi korban. Huh…

Saya punya kenalan seorang pecandu narkoba. Sebutlah namanya May. Orang tua May bercerai, dia anak tunggal, jadi rebutan. Maminya wanita karir yang sering bepergian ke luar kota, sering juga pergi dengan pacar-pacarnya. Papinya tak kalah heboh, pulang ke rumah membawa wanita-wanita genit yang bisa jadi masih seusia dengannya. Akhirnya, merasa tak ada yang bisa memberinya cinta dan kehangatan keluarga, May melarikan diri pada obat-obatan, Alhamdulillah May mau masuk rehabilitasi, tidak terjerumus dalam lembah free sex seperti orang tuanya. Tapi, dampaknya parah. May tidak pernah mau pulang ke rumahnya. Dia menjadi pribadi yang sangat tertutup. Usianya sedikit di atas saya, dan dia trauma pada pernikahan. Hingga kini ia memilih untuk bekerja di toko, padahal dia anak dari keluarga kaya.

Saya jelas tidak bisa menyalahkan May. Tiap-tiap anak memiliki penerimaannya tersendiri terhadap perceraian orang tuanya. Anak-anak lain mungkin bahkan lebih parah lagi. Saya tidak tahu, dan membayangkannya pun sangat menyakitkan.

Saya tidak ingin membahas apa yang bisa menyebabkan perceraian atau bagaimana solusinya. Saya hanya ingin mengajak Anda untuk merenung sejenak…

Jika memang perceraian adalah jalan keluar satu-satunya yang bisa diusahakan untuk meminimalisir kerusakan, maka mungkin memang itulah yang terbaik. Bisa jadi, jika terus dilanjutkan, korban akan semakin banyak, atau pasutri akan terus saling menyakiti dan tentunya “perang” yang terjadi akan menganggu pihak-pihak lain.

Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana untuk menjaga silaturahim meski keadaan telah berubah. Terutama soal menjaga aib-aib dan anak-anak.

Jangan sampai ada perang aib alias penyebaran aib kemana-mana yang menimbulkan fitnah besar. Cukuplah pasutri saja yang tahu dan menjaga aib-aib tersebut. Dan jagalah perasaan anak-anak. Jangan sampai dengan bercerainya orang tua, lantas mereka menjadi kehilangan kasih sayang, kehilangan perhatian, terlantar, dan terabaikan.

Tapi, jika pernikahan masih bisa kita usahakan untuk selamat, kenapa tidak?

Jikapun tidak ada lagi rasa cinta terhadap pasangan, kekecewaan yang dalam, mengapa kita tidak mencoba bersabar dengan memohon cinta Allah atas kesabaran kita?

Ada kisah seorang ibu yang amat baik pada saya. Mendengar kisah pernikahannya membuat saya takjub dan banyak mengambil ibrah. Ibu itu telah menikah selama lebih dari 20 tahun. Sejak awal menikah, ia telah mendapati suaminya sebagai sosok yang sangat jauh dari idamannya. Ketika itu saya bertanya, mengapa ibu itu mau menikah dengan suaminya. Ibu itu pun menjawab, “Karena aku melihat laki-laki itu pintar dan baik agamanya.”

Ternyata?

Pintar dan banyak ilmu pun tak cukup. Lelaki itu tak memiliki etos kerja, hingga akhirnya uang belanja dipangkas sana-sini, nafkah lahir batin jarang bahkan nyaris tak pernah bisa dipenuhi. Silaturahim dengan sanak keluarga dari pihak ibu itu diputus. Bahkan saat ibunya meninggalpun, ibu itu tidak diijinkan pergi melihat ibunya untuk yang terakhir kali. Benar-benar seorang laki-laki tanpa empati.

Mengapa tak bercerai?

Laki-laki itu telah menyalahi syariat. Saya tidak melihat ada alasan syar’i yang bisa saya terima terhadap perlakuannya terhadap sang istri. Saya bertanya, dengan gelora jiwa muda saya yang meledak-ledak: mengapa tidak bercerai saja?

Ibu itu tersenyum penuh kasih pada saya, lalu menggenggam tangan saya erat-erat.

“Aku bercerita bukan ingin meraih simpatimu atau membuatmu takut pada pernikahan. Atau membuka aib suamiku padamu. Aku ingin kamu menuliskannya, dan memberi tahukan pada semua wanita di dunia ini, bahwa dengan kesabaran aku bisa melewati semua cobaanku. Aku ingin kamu dan wanita-wanita lain dapat mengambil pelajaran dari kisah hidupku. Coba pikirkan, Ananda, dia yang berbuat zhalim, suamiku itu. Dia melalaikan kewajibannya sebagai seorang suami. Dia menzhalimi anak-anakku. Dialah yang salah. Tapi, mengapa engkau menyuruhku untuk mencari kemurkaan Allah?”

Sampai disini aku tak mengerti. Apa maksudnya?

“Ah, mungkin kau tak paham. Maksudku, jika aku meminta perceraian pada suamiku, bukankah itu berarti membuatku terhalang untuk mencium wanginya surga? Dan Allah akan murka padaku? Tidak, Nak. Aku tidak ingin. Bersabar meskipun sakit lebih kusenangi daripada aku harus kehilangan kesempatan menghirup wanginya surga…Aku tidak ingin. Sungguh. Aku merindukan surga. Jika pun aku harus bercerai, biarlah suamiku yang menceraikanku. Bukan aku yang memintanya…”

Saya menangis. Betul-betul menangis. Saya peluk ibu itu dan saya cium tangannya. Baru sekali ini saya temukan seorang wanita yang benar-benar tegar…Sungguh…Inilah yang membuat saya ingin menuliskannya dan mengajak Anda untuk merenunginya bersama…

Sumber Gambar : http://www.youpress.gr/uploads/2014/04/xorismos-1024x1024.jpg

5 Comments

  1. Subhanallah. Kisah yang mengharukan sekaligus membanggakan. Sangat menyentuh. Semoga ibu itu mendapatkan wanginya surga seperti yang beliau idam2kan. Aamiin.

Comments are closed.