Buka Dulu Topengmu

topeng

Sedikit tergelitik dengan judul di atas. Mirip sebuah lirik lagu, komentar teman saya saat saya mengungkapkannya. Tapi, saya tidak akan membahas soal lagu disini. Saya ingin berbagi dengan Anda, bagaimana menghadapi anak-anak yang “mengenakan topeng” dalam kepribadiannya.

Istilah topeng, biasanya kita tujukan pada orang atau dalam hal ini anak-anak yang berperilaku tidak sesuai dengan pembawaannya. Jadi, seolah-olah mereka tengah bersandiwara di hadapan Anda atau di hadapan orang lain. Pernahkah Anda menemukan putra atau putri Anda bersikap demikian?

Takut akan penolakan. Kita terlahir dengan naluri dasar kebutuhan akan penerimaan dan takut ditolak oleh lingkungan. Terlebih anak-anak. Mereka membutuhkan rasa diterima dan diinginkan serta memiliki ketakutan-ketakutan akan penolakan. Biasanya, rasa takut ditolak ini menyebabkan seorang anak bersikap berbeda dari kepribadian bawaannya. Misalnya, di rumah ia adalah si kecil yang kalem dan tenang. Tapi, Anda sering kali memperoleh laporan-laporan kenakalannya di sekolah. Jika Anda menanyainya, mungkin ia akan menjawab: “kalau aku jadi anak kalem, aku tidak akan punya teman,”.

Ia bertopeng untuk memenuhi harapan-harapan. Sebagai orang tua, sering kali kita tidak sadar bahwa kita telah memberikan banyak tuntutan-tuntutan terhadap anak-anak kita. Kita ingin mereka melakukan apa yang kita inginkan, kita juga menetapkan apa-apa yang seharusnya mereka lakukan, dan mengulang-ulangnya. Meskipun hal tersebut sebetulnya bertentangan dengan si anak. Misalnya, kita menuntut Anak untuk menjadi seorang dokter, padahal anak memiliki cita-cita sebagai seorang ahli komputer. Kita boleh saja memiliki harapan, namun, ada baiknya kita membicarakannya secara terbuka dan baik-baik pada anak. Agar anak bisa memahami, bahwa harapan Anda memiliki alasan-alasan, dan ia merasa lebih enjoy dengan harapan tersebut.

Sebagai orangtua, kita dituntut untuk mengenali kepribadian anak sejak dini. Ini akan sangat berguna untuk membantunya menentukan langkah meraih masa depannya. Jika kita membiarkan kepribadian palsu itu terus ada di balik topengnya, maka sampai kapanpun, ia akan hidup dalam sandiwaranya. Tentunya, ini bukan hal yang menyenangkan, jika terjadi pada kita, bukan?